Sumber : (waetuo.wordpress.com) |
Tak terasa kurang beberapa hari lagi kita semua yang umat muslim tentunya akan segera menjalankan
ibadah wajib berupa puasa di bulan Suci Ramadhan. Padahal lebaran seperti baru kemarin dan sisa
sisa lebaran pun terasa masih melekat masih meninggalkan bekas berupa sandal jepit maupun baju baju yang mulai kumuh bin kotor.
Sebelum
melaksanakan ibadah puasa tersebut sebelumnya biasanya kita menjumpai dengan adanya acara tradisi membuat ketupat. Di Tuban kususnya atau
lebih dikenal dalam bahasa keseharian kita yang sebagai orang jawa di sebut
“Kupatan” .
Namun
tahukah kita apa yang terkandung makna dari pada kupatan ini ?
Tradisi kupatan
ini sesungguhnya mengingatkan kita untuk saling meminta maaf kepada saudara
saudara kita. Seperti namanya dalam kata
kupat yang memiliki kepanjangan dari bahasa Jawa “ngaku lepat” atau mengakui kesalahan
kesalahan kita. Baik kepada sesama maupun kepada Tuhan yang Maha Esa.
Acara kupatan
semacam ini tak lain merupakan bentuk penyambutan datangnya Bulan Suci Ramadhan yang
di nanti nanti dan di tunggu tunggu oleh semua umat muslim seluruh dunia.
Dengan rasa kebahagian, penuh suka cita yang mendalam. Sehingga pada akhirnya
melakukan tradisi kupatan sebagai bentuk rasya sukur terhadap sang pencipta.
Dalam penyambutan
datangnya bulan Ramadhan ini berbagai daerah tentu bermacam macam tata cara
yang di lakukan sesuai dengan keyakinan dan pemahaman masing masing daerah. Yang meliputi kelompok maupun per-individu. Tentu banyak yang beragam dan berbeda untuk melaksanakan tradisi maupun budayanya.
Apa saja yang di lakukan masyarakat Tuban umumnya dalam rangka
menyambut bulan Ramadhan ini ?
(ilustrasi: suara.com) |
Dewasa ini, Tuban
sendiri banyak yang melakukan acara seperti ini (kupatan) dari pelosok desa hingga ke sudut
sudut kota mereka banyak yang membuat ketupat kemudian di bawa ke masjid maupun mushola
terdekat untuk di panjatkan do’a. Setelahnya di makan bersama sama yang
dilakukan pada malam nisfu sa’ban atau 15 hari menjelang bulan ramadhan. Pada
waktu acara kupatan ini biasanya dilakukan seusai sholat magrib. Nah. Di situlah
letak kebersamaan atau tali silaturahmi berada.
Seperti apa yang
mereka bawa di dalam isi kupat tersebut yang sebelumnya berupa segenggam beras
pilihan lalu di masukan kedalam kupat
sesudahnya di masak hingga menjadi nasi yang
menggumpal yang siap di santap atau di makan bersama sama dengan orang orang
yang berada di dalam masjid maupun mushola tersebut.
Tentu ini juga
ada maksut tersendiri yang meluas dan mendalam setelah kata kupat dari bahasa
jawa yang bearti (ngaku-lepat) atau mengakui kesalahan. Saya ulang kembali Kupat
yang terdiri dari bahan berupa Lontar atau pun Janur lalu dianyam setelahnya di isi dengan segenggam
beras sesudah selesai tahapan itu. Kemudian di masukan kedalam wadah besar untuk di kukus hingga matang bersatu bersama
kupat kupat lainnya hingga sampai matang menjadi nasi yang mengumpal menjadi
satu.
Ini tak lain juga
merupakan sebuah simbul persamaan dan
kebersamaan persatuan dan kesatuan. Dan yang seperti itu merupakan sebuah pesan
moral bagi kita di maksutkan agar kita sama sama saling menjalin persatuan dan
kesatuan sesama muslim kususnya. dan umumnya ini sama seperti kita yang
memiliki seribu perbedaan satu sama yang lain namun tetap bersatu di dalam
negara Indonesia.
Ini sama juga yang saya katakan di atas. Bersama sama memakan ketupat di sebuah
masjid maupun mushola secara bersama sama tanpa memperdulikan latar belakang
tiap tiap individu dan menjadi ajang kebersamaan mempererat tali silaturahhim
karena biasanya tak hanya kaum hawa saja atau pun kaum adam saja yang berada
dalam masjid maupun mushola tersebut. Akan tetapi semuanya pada datang semua sangat
rame dan meriah ketika acara kupatan ini diadakan.
Untuk memakan atau menyantap “kupat” sendiri
cara makannya juga agak sedikit berbeda tidak langsung di makan atau di kelupas
begitu saja sehingga menjadi awal mula daun lontar atau janur tanpa adanya
bekas apapun. Namun untuk menikmati kupat ini dengan cara di iris miring dengan
belati atau pisau terlebih dahulu. Di belah antara sudut dengan sudut hingga
terbelah menjadi dua bagian yang mirip dengan segitiga.
Saya tak pernah
menemuai orang makan kupat dengan cara lain setiap orang pasti sama di iris
dengan pisau terlebih dahulu baru di ambil nasi yang di dalam kupat tadi. Cumak
saya pernah memakan kupat tanpa saya iris sehingga tidak menjadi dua bagian dan
janurnya atau lontar tadi kembali seperti semula tanpa adanya bekas
penganiayaan alias masih utuh berupa dua
janur yang panjang. ketika tragedi itu saya masih kecil dan orang
tua saya yang melihat tak memperbolehkan melakukan seperti itu.
Kenapa tidak di perbolehkan seperti saya tadi ?
Yang kiri kupat dan yang kanan Lepet (Sumber : warungembakkar.wordpress.com) |
Antara boleh dan
tidak itu sebenarnya juga tak ada anjuran yang berlaku atau pun mewajibkan
harus memotong sepengetahuan saya. Tidak ada yang pernah mengatakan hal yang
sedemikian itu namun ada semacam makna yang terkandung di dalamnya seperti
potongan kupat yang miring terbelah menjadi dua bagian tadi. Atau dalam artian
si kupat ini memiliki semacam simbol “perempuan”.
Di Tuban sendiri
tidak hanya cukup dengan membuat kupat saja ada menu pelengkap atau kuliner tambahan
lainnya seperti Lepet atau Alu-alu dan ada juga yang menyajikan makanan berupa
kupat ini bersama kuah sayur sebagai pelengkap menu hidangan. Tak ketinggalan
juga lauk pauknya berupa sambal yang terbuat dari kelapa kalau bahasa kami
menamakan “sambal kelapa” dan dadar telur beserta tahu tempe dan lauk pauk
laninya. Ini kususnya di sekitaran Tuban seperti ini.
Lepet atau alu-alu ini biasanya disajikan atau
di sandingkan bersama kupat yang sudah di belah tadi menjadi satu dengan menu
pelengkap lainnya. Bentuk Lepet
sendiri lonjong alias panjang ini juga merupakan simbol laki laki karenanya
cara penyajiannya di satukan bersama kupat yang bersimbol perempuan ini juga
memiliki makna artinya suami istri juga harus selalu hidup rukun bersatu padu dan bersanding di dalam rumah tangganya.
Pada umumnya
masyarakat Tuban dan sekitarnya untuk membuat kupat ini berasal dari pohon
bogor yang diambil daunnya yang memilki nama Lontar berwarna hijau karena Tuban
sendiri paling banyak adalah pohon Bogor. Akan tetapi banyak juga yang
mengambil dari pohon kelapa yang di sebut daun Janur berwarna kuning muda untuk
membuat kupat maupun lepet.
Daun Janur
sendiri pada umumnya selain di buat untuk membuat kupat juga di buat atau di pasang
pada acara acara pernikahan atau acara lainnya yang penuh dengan kebahagian
suka cita. Ini juga merupkan simbol atau
ada maksut tersendiri.
Berbagai sumber
menyatakan Kata Janur sendiri dari dua kata “Jaa Nur” yang berasal dari bahasa arab yang artinya telah datang cahaya.
Yang kata Kupat tadi awal mulanya juga
dari bahasa arab bentuk kafi yaitu Kuffat yang artinya sudah cukup harapan.
Waktu pelaksanaan tradisi kupatan !
sumber :niyasyah.com |
Masyarakat Tuban
kususnya untuk tradisi kupatan ini di lakukan dua kali sebelum atau menjelang puasa dan 8 hari sesudah hari raya Idhul fitri yang dinamakan Riyoyo kupat. Akan tetapi setiap melakukan tradisi
kupatan ini biasanya tak selalu sama penetapan waktu untuk melaksanakan tradisi
kupatan ini.
Seperti yang ada
di kecamatan merakurak kususnya desa Tlogowaru kabupaten Tuban ada yang malam
nisfu sa’ban ada juga yang malamnya baru melaksanakan kupatan ini. Dan rata
rata sejumlah desa desa yang ada di Tuban pada (21/05/16) umumnya juga tak bersama. Banyak
yang saya tanyai bilang Tidak barengan atau tak serentak.
Tradisi kupatan
ini yang konon katanya di bawa oleh para walisonga. Mungkin ini merupakan salah satu strategi
walisongo untuk memasukan Islam masyarakat di Tanah Jawa secara halus tanpa
adanya pertumpahan darah. Dan masyarakat Jawa pada umumnya mempercayai tradisi
kupatan ini berasal dari Sunan kali Jaga pada masa dulu.
Dan tradisi kupatan
ini umumnya hanya dilakukan sebelum dan
sesudah puasa maka secara halus para penyebar agama islam atau para walisongo
tersebut mengingatkan. Telah datang bulan puasa dan Jika bersungguh sungguh menjalankan ibadah
puasa dengan sebaik baiknya. Maka sudah
cukup harapan amal ibadah maupun dosa dosa kita di terima dan dosa kita di
ampuni oleh Allah swt yang telah
menumpuk selama sebelas bulan.
Nahh,, Itulah salah satu tradisi di Tuban yang masih
dilakukan hingga sekarang. Tradisi kupatan bukan hanya sebuah formalitas saja
tetapi menjadi kebersamaan dan persatuan umat. Adapun ada
kesalahan maupun pendapat mengenai “kupatan” ini saya juga kupat alias (Ngaku Lepat) dan kami mewakili
jajaran crew Mbah google minta maaf sebesar besarnya kepada segenap pembaca
yang budiman ini dan selamat menyiapkan
diri masing masing untuk bersiap siap menjalankan ibadah puasa di awal minggu
pertama di bulan Juni nanti. Ingat kata bang Haji “Puasa jangan sekedar puasa”.
Wah joss kang :-D detail, salute iso nulia sepanjang ini.
BalasHapus